SEJARAH KEPEMIMPINAN MUHAMMADIYAH
DARI MASA KE MASA
Dalam mengkisahkan perjalanan
Muhammadiyah dari masa ke masa, maka akan lebih jelas mengikuti alur
periodesasi kepemimpinan Muhammadiyah, tentu saja akan tampak adanya dinamika
yang berbeda, menurut latar situasi dalam waktu yang berbeda-beda. Namun, ada
yang penting dan perlu diperhatikan ialah, selama 89 tahun Alhamdulillah
Muhammadiyah TIDAK PERNAH PECAH, tetap utuh konsiten pada bidang garap dan
gerakannya. Catatan singkat perjalanan Muhammadiyah dari masa ke masa
dikisahkan sebagai berikut :
1. Periode Kepemimpinan
Kha Dahlan (1912 – 1923)
Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan jiwa serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan ide-ide pembaharuan dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan mengenalkan Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain silaturahmi, mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh hasanah, dan memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan ajaran Islam.
Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh, Majelis Sekolahan 9pengajaran), Majelis Taman Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), ‘Aisyiyah, Kepanduan Hizbul Wathon (HW), menerbitkan majalah “SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu mempelopori berdirinya rumah sakit umat Islam, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan mempelopori hidup sederhana, terutama dalam menyelenggarakan Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).
Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam, Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (ngemong dan memberikan penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati, bahkan ada yang mengikuti gerakannya.
Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan jiwa serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan ide-ide pembaharuan dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan mengenalkan Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain silaturahmi, mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh hasanah, dan memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan ajaran Islam.
Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh, Majelis Sekolahan 9pengajaran), Majelis Taman Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), ‘Aisyiyah, Kepanduan Hizbul Wathon (HW), menerbitkan majalah “SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu mempelopori berdirinya rumah sakit umat Islam, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan mempelopori hidup sederhana, terutama dalam menyelenggarakan Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).
Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam, Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (ngemong dan memberikan penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati, bahkan ada yang mengikuti gerakannya.
2. Periode Kepemimpinan Kh
Ibrahim (1923 –1932)
Pada periode ini Muhammadiyah mulai
berkembang meluas sampai kedaerah-daerah luar Jawa. Perangkat yang dibentuk
antara lain : Majelis Tarjih, Nasyi’atul’Aisyiyah dan kemudian Pemuda Muhammadiyah.
Adapun Aktivitas yang menonjol antara lain :
Pada tahun 1924 mengadakan “Fonds Dachlan”, untuk membeayai sekolah anak-anak miskin. Mengadakan khitanan massal pertama kali (1925). Pada konggres di Surabaya tahun 1926 diputuskan Pemakaian Tahun Islam dalam catat-mencatat termasuk surat menyurat dan Sholat Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927 pada konggres di Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok “Muhammadiyah TIDAK bergerak dalam bidang POLITIK, namun memperbaiki budi pekerti yang luhur (Akhlaqul Karimah) bagi orang yang akan berpolitik (tidak melarang anggotanya berpolitik).
Pada tahun 1928 mulai mengirim putera & puteri lulusan sekolah Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat, Tabigschool, Normalschool) di benum ke pelosok tanah air, sebagai “anak panah” Muhammadiyah. Pada Konggres di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My (badan usaha penerbitan buku-buku sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Taman Pustaka). Di konggres ini pula terjadi “Penurunan Gambar KHA Dahlan” (dan dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus). Pada Konggres di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL HOFD BESTUUR MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada konggres di Makasar 1932 antara lain diputuskan penerbitan Koran Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan oleh cabang Solo.
Pada tahun 1924 mengadakan “Fonds Dachlan”, untuk membeayai sekolah anak-anak miskin. Mengadakan khitanan massal pertama kali (1925). Pada konggres di Surabaya tahun 1926 diputuskan Pemakaian Tahun Islam dalam catat-mencatat termasuk surat menyurat dan Sholat Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927 pada konggres di Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok “Muhammadiyah TIDAK bergerak dalam bidang POLITIK, namun memperbaiki budi pekerti yang luhur (Akhlaqul Karimah) bagi orang yang akan berpolitik (tidak melarang anggotanya berpolitik).
Pada tahun 1928 mulai mengirim putera & puteri lulusan sekolah Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat, Tabigschool, Normalschool) di benum ke pelosok tanah air, sebagai “anak panah” Muhammadiyah. Pada Konggres di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My (badan usaha penerbitan buku-buku sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Taman Pustaka). Di konggres ini pula terjadi “Penurunan Gambar KHA Dahlan” (dan dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus). Pada Konggres di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL HOFD BESTUUR MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada konggres di Makasar 1932 antara lain diputuskan penerbitan Koran Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan oleh cabang Solo.
3. Periode Kepemimpinan Kh
Hisyam (1932 – 1936)
Periode ini kegiatan pendidikan
mendapatkan porsi yang mantap, selain itu pula diadakan penerbitan administrasi
organisasi. Pada konggres tahun 1934 lebih dimantapkan pengembangan lembaga
pendidikan tingkat menengah dan mengubah sekolah dengan nama Belanda menjadi
nama khas kita, seperti : Volkschool menjadi Sekolah Rakyat. Pada Konggres
tahun 1935 memutuskan pembentukan Majelis Pimpinan Perekonomian yang tugasnya
membantu perbaikan ekonomi anggota (membentuk semacam kooperasi). Pada tahun
1936 diadadkan Konggres Seperempat Abad (XXV) di Jakarta, diputuskan anatara
lain mendirikan sekolah Tinggi, dan mendirikan Majelis Pertolongan & Kesehatan
Muhammadiyah (MPKM) di seluruh cabangdan ranting.
4. Periode Kepemimpinan Kh
Mas Mansyur (1936 – 1942)
Masa kepemimpinan KH Mas Mansyur
merupakan tokoh yang kreatif dan terkenal sikapnya yang istiqomah dan
pemberani, sehingga ikut dalam pengisian jiwa gerakan Muhammadiyah, dan
penegasan kembali faham agama yang menjadi garis besar Muhammadiyah. Pada
periode ini memaksimalkan Majelis Tarjih, sehingga menghasilkan “Masalah Lima”
(Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan ibadah). Selain itu menggerakkan Muhammadiyah
lebih dinamis dan berbobot, dengan konsepnya yang terkenal “Langkah Dua
belas”nya. Catatan kekiatan yang menonjol saat itu antara lain :
a. Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’, HA Kahar Mzkr & R. Sutomo)
b. Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di Yogyakarta 1937)
c. Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan Oleh Pemerintah Belanda
d. Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru mengajar di Sekolah Muh.)
e. Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda dengan Indonesia
f. Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana untuk kaum dhu’afa
g. Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah
h. Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia)
a. Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’, HA Kahar Mzkr & R. Sutomo)
b. Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di Yogyakarta 1937)
c. Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan Oleh Pemerintah Belanda
d. Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru mengajar di Sekolah Muh.)
e. Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda dengan Indonesia
f. Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana untuk kaum dhu’afa
g. Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah
h. Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia)
5. Periode Kepemimpinan Ki
Bagus Hadikusuma (1942 – 1953)
Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi dan membentuk jiwa bagi gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan singkat atas gagasan dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).
Periode ini menghadapi zaman Jepang, awal kemerdekaan, masa revolusi fisik mempertahankan Republik Indonesia. Oleh karena itu, aktivitas Muhammadiyah banyak tersita dengan perjuangan kenegaraan, seperti mempersiapkan kemerdekaan, mendirikan kelasykaran/badan perjuangan untuk membela Republik Indonesia dan sebagainya.
Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani menentang pemerintah Dai Nippon yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja Amaterasu Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini Jepang mundur dan Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.
Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi dan membentuk jiwa bagi gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan singkat atas gagasan dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).
Periode ini menghadapi zaman Jepang, awal kemerdekaan, masa revolusi fisik mempertahankan Republik Indonesia. Oleh karena itu, aktivitas Muhammadiyah banyak tersita dengan perjuangan kenegaraan, seperti mempersiapkan kemerdekaan, mendirikan kelasykaran/badan perjuangan untuk membela Republik Indonesia dan sebagainya.
Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani menentang pemerintah Dai Nippon yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja Amaterasu Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini Jepang mundur dan Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.
6. Periode Kepemimpinan
A.R. Sutan Mansyur (1952 – 1959)
Kepemiminan AR Sutan Mansyur dikenal
sebagai masa memperkokoh Ruh Tauhid, yaitu dengan disusunnya Khittah Palembang.
Pada periode ini yang penting dicatat sejarah antara lain :
a. Sidang Tanwir di Pekajangan, 1955 membicarakan Konsepsi Negara Islam.
b. Sidang Tanwir 1956 di Yogyakarta memutuskan :
- Muhammadiyah tetap bergerak dalam bidang agama & kemasyarakatan,
- Masalah politik diserahkan pada Partai Masjumi,
- Bagi warga Muhammadiyah yang aktif politik dianjurkan ke Partai Islam
- Keanggotaan Istimewa dihapus, namun tetap hubungan baik dengan Masjumi.
a. Sidang Tanwir di Pekajangan, 1955 membicarakan Konsepsi Negara Islam.
b. Sidang Tanwir 1956 di Yogyakarta memutuskan :
- Muhammadiyah tetap bergerak dalam bidang agama & kemasyarakatan,
- Masalah politik diserahkan pada Partai Masjumi,
- Bagi warga Muhammadiyah yang aktif politik dianjurkan ke Partai Islam
- Keanggotaan Istimewa dihapus, namun tetap hubungan baik dengan Masjumi.
7. Periode Kepemimpinan Hm
Yunus Anis (1959 – 1962)
Pada periode ini situasi negara
dalam goncangan sosial politik, sehingga baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh
pada gerak perjuangan Muhammadiyah. Namun HM Yunus Anis mampu membawa
Muhammadiyah untuk tetap pada jati dirinya, yaitu tetap menempatkan
kedudukannya sebagai Gerakan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dalam bidang
sosial keagamaan. Selain itu, penataan administrasi Muhammadiyah dibangun
dengan baik sebagaimana organisasi modern. Dokumentasi Muhammadiyah mulai
dibenahi dan diatur rapi, sehingga memudahkan penulisan dan penelitian dalam
Muhammadiyah.
Pada periode ini Majelis Pustaka sangat berperan, baik dalam bidang perpustakaannya, dokumentasi arsip-arsip dan penerbitan Muhammadiyah, serta banyak menghasilkan penerbitan RIDUP (riwayat hidup) tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan Almanak Muhammadiyah.
Pada periode ini Majelis Pustaka sangat berperan, baik dalam bidang perpustakaannya, dokumentasi arsip-arsip dan penerbitan Muhammadiyah, serta banyak menghasilkan penerbitan RIDUP (riwayat hidup) tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan Almanak Muhammadiyah.
8. Periode Kepemimpinan
Kha Badawi (1962 – 1968)
Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan kehidupan kenegaraan yang cenderung terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial Ekonomi sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang revolusioner yang tidak menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh kekuatan umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu, menyelamatkan negara dengan pendekatan pada presiden agar tidak terseret jauh terpengaruh oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.
Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan kehidupan kenegaraan yang cenderung terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial Ekonomi sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang revolusioner yang tidak menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh kekuatan umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu, menyelamatkan negara dengan pendekatan pada presiden agar tidak terseret jauh terpengaruh oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.
9. Periode Kepemimpinan Kh Fakih Usman / H. Ar
Fakhrudin (1968 – 1971)
Pada Muktamar ke 37 di Yogyakarta KH Fakih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun tiada berapa lama beliau wafat, dan Sidang Tanwir menetapkan H. AR Fakhrudin (WK Ketua I) sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (1968 – 1971). Periode ini yang lebih menonjol adalah “Me-Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah”. Dalam hal ini mengadakan tajdid dalam bidang ideologinya dengan “merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, dalam bidang organisasi dan usaha perjuangannya dengan menyusun “Khittah Perjuangan Muhammadiyah”.
Pada Muktamar ke 37 di Yogyakarta KH Fakih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun tiada berapa lama beliau wafat, dan Sidang Tanwir menetapkan H. AR Fakhrudin (WK Ketua I) sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (1968 – 1971). Periode ini yang lebih menonjol adalah “Me-Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah”. Dalam hal ini mengadakan tajdid dalam bidang ideologinya dengan “merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, dalam bidang organisasi dan usaha perjuangannya dengan menyusun “Khittah Perjuangan Muhammadiyah”.
10. Periode Kepemimpinan
H. Ar Fakhrudin (1971 – 1990)
Periode ini meneruskan sebelumnya, yaitu usaha untuk meningkatkan kualitas persyarikatan baik pemurnian amal usaha Muhammadiyah. AR Fakhrudin dipilih sebagai ketua Muhammadiyah pada Muktamar ke 39 di Ujung Pandang 1971, Muktamar ke 40 di Surabaya tahun 1978, dan Muktamar ke 41 di Surakarta, 1985.
Pada periode ini mengalami tantangan untuk mengubah Azas Islam dengan Pancasila sebagai stu-satunya azaz organisasi di Indonesia. Ddengan kebijakan “Siasat Jalur Helem” (yang artinya untuk sementara, dan tetap beraqidah Islam), Muhammadiyah dalam selamat.
Beberapa keputusan penting antara lain :
a. Mengukuhkan Khittah Muhammadiyah (Khittah Ponorogo) di Muktamar 40.
b. Ikut membidani kelahiran partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
c. Tersusunnya konsep-konsep Dakwah oleh Majelis Tabligh dan tuntunan praktis.
d. Tersusunnya konsep kaderisasi dan pedoman praktis pembinaannya.
e. Tersusunnya berbagai pedoman pendidikan oleh Majelis Dikdasmen & Dikti.
f. Pengaktifan kembali Majelis Pustaka, dalam rangka penyelamatan arsip dokumen Muhammadiyah dan penerbitan-penerbitannya.
Periode ini meneruskan sebelumnya, yaitu usaha untuk meningkatkan kualitas persyarikatan baik pemurnian amal usaha Muhammadiyah. AR Fakhrudin dipilih sebagai ketua Muhammadiyah pada Muktamar ke 39 di Ujung Pandang 1971, Muktamar ke 40 di Surabaya tahun 1978, dan Muktamar ke 41 di Surakarta, 1985.
Pada periode ini mengalami tantangan untuk mengubah Azas Islam dengan Pancasila sebagai stu-satunya azaz organisasi di Indonesia. Ddengan kebijakan “Siasat Jalur Helem” (yang artinya untuk sementara, dan tetap beraqidah Islam), Muhammadiyah dalam selamat.
Beberapa keputusan penting antara lain :
a. Mengukuhkan Khittah Muhammadiyah (Khittah Ponorogo) di Muktamar 40.
b. Ikut membidani kelahiran partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
c. Tersusunnya konsep-konsep Dakwah oleh Majelis Tabligh dan tuntunan praktis.
d. Tersusunnya konsep kaderisasi dan pedoman praktis pembinaannya.
e. Tersusunnya berbagai pedoman pendidikan oleh Majelis Dikdasmen & Dikti.
f. Pengaktifan kembali Majelis Pustaka, dalam rangka penyelamatan arsip dokumen Muhammadiyah dan penerbitan-penerbitannya.
11. Periode Kepemimpinan Kh. Ahmad Azhar Basyir
(1990 – 1995)
Pada periode ini berhasil dirumuskan Program Jangka Panjang Muhammadiyah 25 Tahun, yang meliputi Bidang Konsolidasi Gerakan, Bidang Pengkajian dan Pengembangan, dan Bidang Kemasyarakatan. Program itu dijabarkan secara strategis menjadi :
a. Bidang Konsolidasi gerakan, meliputi antara lain Konsolidasi Organisasi, Kaderisasi dan Pembinaan AMM, Bimbingan Keagamaan, dan Peningkatan Hubungan Kerjasama.
b. Bidang Pengkajian dan Pengembangan meliputi antara lain Pengkajian & Pengembangan pemikiran Islam; Penelitian & pengembangan; dan Pusat informasi Kepustakaan dan penerbitan.
c. Bidang kemasyarakatan meliputi, pendidikan; penanaman keyakinan Islam kesehatan; Pengembangan Sosial Kemasyarkaatan; Kebudayaan; Ekonomi dan Kewiraswastaan; Partisipasi Politik; Pengembangan General Muda; Pembinaan keluarga; Pengembangan Peranan Wanita; Lingkungan Hidup; dan PeningkatanKualitas Sumber daya manusia.
Pada periode ini berhasil dirumuskan Program Jangka Panjang Muhammadiyah 25 Tahun, yang meliputi Bidang Konsolidasi Gerakan, Bidang Pengkajian dan Pengembangan, dan Bidang Kemasyarakatan. Program itu dijabarkan secara strategis menjadi :
a. Bidang Konsolidasi gerakan, meliputi antara lain Konsolidasi Organisasi, Kaderisasi dan Pembinaan AMM, Bimbingan Keagamaan, dan Peningkatan Hubungan Kerjasama.
b. Bidang Pengkajian dan Pengembangan meliputi antara lain Pengkajian & Pengembangan pemikiran Islam; Penelitian & pengembangan; dan Pusat informasi Kepustakaan dan penerbitan.
c. Bidang kemasyarakatan meliputi, pendidikan; penanaman keyakinan Islam kesehatan; Pengembangan Sosial Kemasyarkaatan; Kebudayaan; Ekonomi dan Kewiraswastaan; Partisipasi Politik; Pengembangan General Muda; Pembinaan keluarga; Pengembangan Peranan Wanita; Lingkungan Hidup; dan PeningkatanKualitas Sumber daya manusia.
KH Ahmad Azhar Basyir memimpin
Muhammadiyah tidak sampai akhir periode, karena Allah SWT. Memanggil untuk
menghadap keharibaannNya. Kepemimpinan PP Muhammadiyah periode ini diteruskan
oleh Dr. H. Amien Rais (yang sebelumnya sebagai staf ketua).
Pada Muktamar di Jogjakarta tahun 1995, Dr. H. Amien Rais dipilih dan dikukuhkan kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah (periode 1995 sampai 2000). Namun, oleh karena Prof. Dr. H. Amien Rais mengundurkan diri dari ketua umum PP Muhammadiyah (karena menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional), maka sebagai ketua umum PP Muhammadiyah digantikan Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arief. Sampai disini dulu uraian tentang Fragmenta Lintasan Sejarah Muhammadiyah. Untuk periode Prof. Dr. H. Amien Rais; Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arief; dan periode Prof. Dr. H. Dien Syamsuddin, belum dapat ditulis dalam makalah ini. Alhamdulillah.
Pada Muktamar di Jogjakarta tahun 1995, Dr. H. Amien Rais dipilih dan dikukuhkan kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah (periode 1995 sampai 2000). Namun, oleh karena Prof. Dr. H. Amien Rais mengundurkan diri dari ketua umum PP Muhammadiyah (karena menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional), maka sebagai ketua umum PP Muhammadiyah digantikan Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arief. Sampai disini dulu uraian tentang Fragmenta Lintasan Sejarah Muhammadiyah. Untuk periode Prof. Dr. H. Amien Rais; Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arief; dan periode Prof. Dr. H. Dien Syamsuddin, belum dapat ditulis dalam makalah ini. Alhamdulillah.
12. Periode Kepemimpinan Prof.
Dr. H. Amien Rais
PROF. DR. H. AMIEN RAIS (lahir di Solo,
Jawa Tengah,
26 April
1944; umur 68 tahun) adalah politikus
Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 – 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober
1999.
1944; umur 68 tahun) adalah politikus
Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua MPR periode 1999 – 2004. Jabatan ini dipegangnya sejak ia dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999 pada bulan Oktober
1999.
Namanya mulai mencuat ke kancah
perpolitikan Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto
sebagai salah satu orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah.
Setelah partai-partai politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie,
Amien Rais ikut mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum PAN dari saat PAN
berdiri sampai tahun 2005.
Sebuah majalah pernah menjulukinya
sebagai “King Maker“. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais
dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang
Istimewa tahun 2001. Padahal, perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10%
dalam pemilu 1999.
Lahir di solo pada 26 April 1944, Amien
dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah.
Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien banyak
dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke berbagai negara
dan baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master (1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Kembali ke tanah air, Amien kembali
ke kampusnya, Universitas Gadjah Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan beberapa organisasi lain. Pada
era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak
heran ia kerap dijuluki Lokomotif Reformasi.
13. Periode kepimimpinan
Ahmad Syafi’i Ma’arif
(lahir di Sumpurkudus,
Sijunjung, Sumatera Barat,
31 Mei
1935; umur 77 tahun) adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan pendiri Maarif Institute, yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai “Bapak Bangsa”. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.
1935; umur 77 tahun) adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dan pendiri Maarif Institute, yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya yang plural, kritis, dan bersahaja telah memposisikannya sebagai “Bapak Bangsa”. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.
Kehidupan
awal
Ahmad Syafii Maarif lahir di Minangkabau,
Sumatera
pada 31 Mei 1935.[1] Ia bersaudara dengan 15 orang yang
seayah tetapi tidak seibu.[2]
Ayahnya, Ma’rifah Rauf adalah seorang saudagar gambir yang belakangan diangkat sebagai
kepala suku Malayu.[3]
Namun, sewaktu ia berusia satu setengah tahun, ibunya, Fathiyah meninggal
sehingga ia kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang bernama
Bainah.[3][a]
Pada tahun 1942, ia dimasukkan ke
Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus.[1]
Sepulang sekolah, Pi’i, panggilan akrabnya semasa kecil,[4]
belajar agama ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.[3] Pendidikannya di Sekolah Rakyat, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari Sekolah Rakyat pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.[5] Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.[1] Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau dan belajar di sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah tersebut sampai duduk di bangku kelas tiga.[2]
Muhammadiyah pada sore hari dan malamnya belajar mengaji di surau yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebagaimana umumnya anak laki-laki di Minangkabau pada masa itu.[3] Pendidikannya di Sekolah Rakyat, yang harusnya ia tempuh selama enam tahun, dapat ia selesaikan selama lima tahun. Ia tamat dari Sekolah Rakyat pada tahun 1947, tetapi tidak memperoleh ijazah karena pada masa itu terjadi perang revolusi kemerdekaan.[5] Namun, setelah tamat, karena beban ekonomi yang ditanggung ayahnya, ia tidak dapat meneruskan sekolahnya selama beberapa tahun.[1] Baru pada tahun 1950, ia masuk ke Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau dan belajar di sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah tersebut sampai duduk di bangku kelas tiga.[2]
Merantau
ke Jawa
Pada tahun 1953, dalam usia 18
tahun, ia meninggalkan kampung halamannya untuk merantau
ke Jawa.
Bersama dua adik sepupunya, yakni Azra’i dan Suward, ia diajak belajar ke Yogyakarta
oleh M. Sanusi Latief.[5]
Namun, sesampai di Yogyakarta, niatnya semula untuk meneruskan sekolahnya ke
Madrasah Muallimin di kota itu tidak terwujud, karena pihak sekolah menolak
menerimanya di kelas empat dengan alasan kelas sudah penuh.[5]
Tidak lama setelah itu, ia justru diangkat menjadi guru bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia di sekolah tersebut tetapi tidak lama. Pada saat bersamaan,
ia bersama Azra’i mengikuti sekolah montir sampai akhirnya lulus setelah
beberapa bulan belajar.[5]
Setelah itu, ia kembali mendaftar ke Muallimin dan akhirnya ia diterima tetapi
ia harus mengulang kuartal terakhir kelas tiga. Selama belajar di sekolah
tersebut, ia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan
dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar, sebuah majalah
pelajar Muallimin di Yogyakarta.
Setelah ayahnya meninggal pada 5
Oktober 1955, kemudian ia tamat dari Muallimin pada 12 Juli 1956, ia memutuskan
untuk tidak melanjutkan sekolahnya, terutama karena masalah biaya.[4]
Dalam usia 21 tahun, tidak lama setelah tamat, ia berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul
Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru. Sesampai di Lombok Timur,
ia disambut oleh pengurus Muhammadiyah setempat, lalu menuju sebuah kampung di Pohgading tempat ia ditugaskan sebagai guru.[4]
Setelah setahun lamanya mengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading,
sekitar bulan Maret 1957, dalam usia 22 tahun, ia mengunjungi kampung
halamannya,[6] kemudian kembali lagi ke Jawa untuk
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Surakarta.[6]
Sesampai di Surakarta, ia masuk ke Universitas
Cokroaminoto dan memperoleh gelar sarjana muda
pada tahun 1964.[7]
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya untuk tingkat doktoral
pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP (sekarang Universitas
Negeri Yogyakarta) dan tamat pada tahun 1968.[8]
Selama kuliah, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk melangsungkan
hidupnya. Ia pernah menjadi guru mengaji dan buruh sebelum diterima sebagai
pelayan toko kain pada 1958.[6]
Setelah kurang lebih setahun bekerja sebagai pelayan toko, ia membuka dagang
kecil-kecilan bersama temannya, kemudian sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.[6][7]
Selain itu, ia juga sempat menjadi redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan
Wartawan Indonesia.[8]
Karier
Selanjutnya bekas aktivis Himpunan
Mahasiswa Islam ini, terus meneruskan menekuni ilmu sejarah
dengan mengikuti Program Master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS.
Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban
Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi : Islam as the Basis of
State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent
Assembly Debates in Indonesia.
Selama di Chicago
inilah, anak bungsu dari empat bersaudara ini, terlibat secara intensif
melakukan pengkajian terhadap Al-Quran,
dengan bimbingan dari seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazlur Rahman.
Di sana pula, ia kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais yang sedang mengikuti pendidikan doktornya.
Penulis Damiem Demantra membuat
sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak
Kampung’.[9] Novel ini telah difilmkan dan meraih
penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).[10]
Aktivitas
Setelah meninggalkan posisnya
sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, kini ia aktif dalam komunitas Maarif
Institute. Di samping itu, guru besar
IKIP Yogyakarta ini, juga rajin menulis, di samping menjadi pembicara dalam
sejumlah seminar. Sebagian besar tulisannya adalah masalah-masalah Islam, dan
dipublikasikan di sejumlah media cetak. Selain itu ia juga menuangkan
pikirannya dalam bentuk buku. Bukunya yang sudah terbit antara lain
berjudul : Dinamika Islam dan Islam, Mengapa Tidak?,
kedua-duanya diterbitkan oleh Shalahuddin Press, 1984. Kemudian Islam dan Masalah
Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES, 1985. Atas karya-karyanya, pada tahun
2008 Syafii mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina.[11]
Karya
tulis
- Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, Yayasan FKIS-IKIP, Yogyakarta, 1975
- Dinamika Islam, Shalahuddin Press, 1984
- Islam, Mengapa Tidak?, Shalahuddin Press, 1984
- Percik-percik Pemikiran Iqbal, Shalahuddin Press, 1984
- Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, 1985
14. Periode Kepemimpinan
Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin, atau dikenal dengan Din Syamsuddin
Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin (lahir di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus
1958; umur 54 tahun), adalah seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang anak.
1958; umur 54 tahun), adalah seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010. Istrinya bernama Fira Beranata, dan memiliki 3 orang anak.
Ia menempuh pendidikan sarjana di IAIN Jakarta, dan
kemudian melanjutkan pascasarjana dan doktornya di University of California at Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat.
Din pernah berkarier di birokrasi
menduduki jabatan sebagai Direktur Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Sedangkan dalam kegiatan organisasi, Din pernah menjabat
sebagai Ketua DPP Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1985), Ketua Umum PP
Pemuda Muhammadiyah (1989-1993), Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005),
Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ketua Litbang Golongan Karya.
Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia
seringkali diundang untuk menghadiri berbagai macam konferensi tingkat
internasional berkenaan dengan masalah hubungan antara umat beragama dan
perdamaian. Baru-baru ini, misalnya, ia diundang ke Vatican
untuk memberikan ceramah umum tentang terorisme dalam konteks politik dan
idiologi. Ia memandang bahwa terorisme lebih relevan bila dikaitkan dengan isu
politik dibandingkan dengan isu idiologi. Sejalan dengan itu, ia juga tidak
senang bila sebagian kelompok umat Islam menggunakan label Islam dalam
melakukan aksi-aksi terorisme mereka. Menurutnya, aksi-aksi terorisme yang
mengatasnamakan Islam justru sangat merugikan umat Islam baik pada tingkat
internal umat Islam maupun pada skala global.
Din Syamsuddin dipandang sebagai
sosok pemimpin umat Islam bukan hanya karena dia Ketua Umum Muhammadiyah,
tetapi lebih dari itu karena kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh
elemen umat beragama baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat beragama
lainnya.
Din Syamsuddin merupakan salah-satu
penumpang dalam Garuda Indonesia Penerbangan 200,
ia mengalami luka ringan dalam penerbangan yang menewaskan 21 orang tersebut
Sumber dari Internet