j
IJTIHAD
Firman
Allah, (Al-Ahzab 33:36)
"Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab 33:36)
Dasar-dasar Hukum Islam
Semua muslimin sepakat bahwa sumber
hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah
kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah;
disebut as-Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini
saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang
melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum
atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua
yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga
tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah.
Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan
mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan muslimin
untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam
kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan
Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya
dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni
adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari
dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber
yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun
dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan
yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan ini, nampak jelas
ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan
penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian
muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka
berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang
mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki
pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi Muhammad SAW tidak berarti
terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena, Sunnah dalam pemahaman
kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada pada tiga
belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS
sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS),
hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah kesatuan
muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh dan
bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari
perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar
cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan
masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi
berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam
menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi
faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil
dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim
dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta
dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini,
telah membentuk opini keislaman seseorang.
Hal lain yang tak kalah pentingnya
adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan
didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman
pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama
Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah.
Karena itu, muslimin, mau tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya
adalah i'tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk
mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan
setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.
Ijtihad di Kalangan Muslimin
Ijtihad (secara bahasa), berasal
dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Kelompok
terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras
tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti,
menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i. (al-Ra'ya
al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath, hal.9). Ijtihad juga
diartikan menguras tenaga dan jerih-payah untuk memperoleh hukum syar'i yang
bersifat dugaan dari Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Ihtihsan dan sebagainya.
Muslimin (secara historis)
menggunakan kesempatan berijtihad untuk melepaskan tanggung jawab dalam
menjawab permasalahan kehidupan yang belum ditemui dalam hukum yang jelas
(dhahir) sampai datangnya masa penaklukan kota Baghdad di masa kekuasaan
Dinasti Abbasiyah oleh Bangsa Tartar (sekitar 665 H.) Setelah adanya kejadian
tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan pintu ijtihad menjadi
"tertutup". Dari sinilah hak ijtihad hanya menjadi milik mujtahid
terdahulu.
Selanjutnya, perkembangan ijtihad
dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum tidak ada perbedaan
mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di antara kelompok muslim.
Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan qiyas dalam ijtihad dan
sebagian lagi menolak.
Kasus Seputar Ijtihad
Dasar sumber-sumber ijtihad adalah
Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun demikian, dari keempat sumber ini,
bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak ditemukannya ketentuan
hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh.
Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang ada.
Karena itu, terhentinya atau tidak
dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan
terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal
lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan
yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal
pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya
kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang
mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas
kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela
dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah
dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada
posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus
hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus
dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan
hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang
awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena
ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan
masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum.
Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui
keabsahan dan kebenarannya.
Mujtahid Sebagai Standar Keilmuan
Islam adalah merupakan sarana penghantar perjalanan manusia
kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini,
memastikan manusia untuk tidak memilih jalan lain atau berjalan di jalan yang
salah. Sehingga manusia dengan sendirinya wajib memastikan dirinya untuk berada
di dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad muslimin.
Dasarnya adalah dengan adanya Maksum
maka i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya.
Tetapi dengan tidak adanya maksum,
maka pikiran ideal merupakan i'tiqad tanpa kepastian untuk didapatkan dalam
praktik kehidupan muslim. Maka muslimin mengejar idealisme kesempurnaan Islam
dengan berusaha mendapatkan nilai ideal. Namun, karena agama samawi ini tidak
memberikan jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara takwin, maka Nilai
Islam yang ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya
pada kebenaran Ilahi. Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat dari usaha
maksimal sebagai manusia untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan
Allah.
Maka akan ada selisih antara
kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang di-i'tiqadi dengan nilai kebenaran
yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian, usaha yang dilakukan oleh muslimin
untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran,
Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang
kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena:
1.
Tidak hadirnya Imam Maksum di antara
muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah
dan Maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus
digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar
oleh pandangan muslimin.
2.
Perkembangan pola hidup manusia.
Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka
perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada
komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang
dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan
keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu
keharusan.
Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu
dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan muslim, maka muslimin harus
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni ia harus selalu berada dan
berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut
merupakan kewajiban muslimin.
Dengan hal di atas pun bukan berarti
permasalahan kewajiban tersebut telah terlepas dari persoalan, tetapi masih
banyak masalah lain dalam ijtihad, seperti:
a. Apakah ijtihad hanya terbatas
pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?
b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul)
ketika ada nash?
c. Mana yang harus didahulukan,
ijtihad atau hadits nabawi?
d. Siapa yang berhak untuk
berijtihad?
Empat kasus di atas telah membelah
muslim menjadi dua pecahan, yaitu kelompok Ahl al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits,
tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini pula kelompok kalam terbagi menjadi
Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan
qubuh (buruk); dan kelompok Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits nabawi.
Apapun yang terjadi, permasalahan
ini akan kembali kepada persoalan: adakah kini masih terbuka pintu ijtihad dan
siapa yang dibenarkan untuk berijtihad?
Dibalik pertanyaan ini sebenarnya
tersembunyi suatu hal yang sangat penting, yaitu fiqih itu sendiri. Karena,
fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria
Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih.
Keislaman seseorang terlihat dengan bentukan (pengejawantahan) fiqih pada
dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad dan mujtahid memegang peran yang sangat
penting atas keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.
Dalam Surat al-Taubah ayat 122
ditegaskan: "Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu
untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga
dirinya."
Fiqih berasal dari akar kata
tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta pengertian sempurna tentang
realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-Quran menyatakan bahwa
tafaqquh ialah spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu
fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk
memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini.
Bergabungnya Semua Hukum Islam
dengan Politik
Islam bukan merupakan satu sisi
penilai terhadap persoalan, tapi Islam merupakan penilai dan penilaian dari
semua sisi. Semua permasalahan, baik yang berhubungan dengan dunia, politik,
masyarakat, ekonomi, dan juga semua permasalahan yang berhubungan dengan
sisi-sisi yang tidak diketahui oleh ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar manusia
mengetahui kedua sisi tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat
hukum di dalamnya.
Karena itu, muslim yang ber-tauhid
tentu saja tidak hanya memandang dari satu sisi saja dan melupakan sisi lain.
Islam, yang kesempurnaannya melebihi agama lain, semua hukumnya bergabung
dengan politik. Semuanya terikat dalam politik. Shalat bersenyawa dengan
politik. Haji, zakat, pelaksanaan negara, semuanya berhubungan dengan politik.
Kaum isti'mar (penindas)-lah yang berusaha hendak memisahkan dan mengesampingkannya.
Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari
faqih) merupakan fokus perjalanan Islam di tengah kehidupan Islam. Dinyatakan
dalam ungkapan: "Fuqaha adalah benteng Islam seperti benteng kota untuk
membentengi kota." Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris
Nabi."
Jadi, dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan ulama adalah faqih (yang menguasai fiqih) yang dapat menjaga
Islam. Maka ulama akan masuk dalam standar keulamaan dengan predikat faqih-nya,
untuk menjaga Islam. "Demikianlah sesungguhnya perjalanan semua hal dan
ahkam ada pada tangan ulama Ilahi, penanggung-jawab halal dan haram-Nya."
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/New/Nash%20dan%20Ijtihad.htm