BAIK BAIKLAH PAHAM TENTANG MAHA SUCI
Dzat Tuhan merupakan Wujud Mutlak, tidak dapat dipersepsikan oleh akal,
perasaan, khayal dan indera.. Dzatullah sebagai aspek
bathin segala yang maujud (ada), karena Tuhan meliputi segala sesuatu (Lihat
surat Fushilat :54)
Bisa ditarik kesimpulan bahwa sifat bukan hakikat ketuhanan akan tetapi
sifat adalah yang bersandar kepada Dzat Tuhan. Sesuatu yang bersandar kepada
Dzat bukanlah Tuhan, kedudukannya sama halnya dengan tanaman, pohonan, gunung,
surga dan neraka, karena semua muncul karena adanya Dzat yang Hidup, dzat-lah
Yang menggerakkan semua ini.
Hakikat kemuhammadan atau Nur Muhammad artinya cahaya yang penuh pujian Tuhan.
Inilah permulaan segala sesuatu, sehingga Allah bisa disifati karena Ia Yang
Menciptakan (Al Khaliq), Yang Memelihara (Al hafidz), Yang Perkasa (Al Jabbar),
Yang Maha Kuat (Al qawwiyu), Yang Hidup (Al Hayyu) dst, sedangkan sifat itu
sendiri bergantung kepada sang Dzat (tidak berdiri sendiri ), oleh karena itu
Islam melarang berhenti kepada sifat. Karena sifat itu bukan Dzat itu sendiri.
Untuk mengetahui Dzatullah harus meninggalkan sifat-Nya yaitu keadaaan hakikat
Tuhan yang belum ada apa-apa ) karena sifat merupakan sesuatu yang bergantung
(membutuhkan sandaran) Dan sifat Allah itu masih bisa dirasakan oleh
makhluk-Nya seperti Ar Rahman (Pengasih) Ar Rahiem (Penyayang), Al Qawiyyu (
Kuat) sedangkan sifat itu muncul karena persepsi sang hamba (inna dzanni 'abdi,
Aku tergantung persepsi hamba-hamba-KU)
Sebaliknya Islam menyempurnakannya dengan langsung kepada Dzatullah, tidak
berhenti kepada sifat-Nya ,yaitu dengan menafikan (mengabaikan) segala sesuatu
kecuali Allah. Laa ilaaha illallah. atau laa syai'un illallah ( tiada sesuatu
kecuali Allah) juga terdapat dalam Surat Thaha:14 innanii Ana Allah, laa ilaaha
illa ANA, fa'budnii, sesungguhnya AKU ini Allah, tidak ada Tuhan selain AKU maka sembahlah AKU dan
dirikanlah Shalat untuk Menyembah AKU !!
Jelas dengan tegas bahwa Allah mengarahkan kita untuk menyembah DZAT-NYA
bukan Nama-Nya bukan Sifat-Nya.
Menempatkan Dzat sebagai hakikat dari segala sesuatu. Karena itu Dzat
disebut sebagai la ta'yun tidak bisa dikenal hakikatnya. Keadaan-Nya tidak
kenal penyebutan karena segala persepsi tidak bisa menggambarkan keadaan-Nya.
Keadaan yang masih belum ada apa-apa, masih awang uwung (ithlaq ), yang wilayah
ini digambarkan oleh Al Qur'an sebagai orang yang pingsan ( suatu keadaan yang
di alami oleh Nabi Musa As, lihat QS: 7:143)
Inilah objek yang kita tuju, bukan kepada sifat dan Nur-Nya. Kepada Dzat
itulah kita kembali innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun, kita memuja,
bersujud, kita bergantung !!
Tiap tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Nya [Al-Qur'an S. Qashas : 88]
Kita tetap sadar didalam Mahasuci. INILAH KEIMANAN YANG TIDAK KOYAK. Dengan
keimanan kita, cukup disadari saja : kita ada di Mahasuci yang "laysa
kamitslhi syaiun" yang tidak memerlukan tempat.
Dikukuhkan perasaan kita di Mahasuci. Jangan ada pikiran kepada yang bukan
Mahasuci. Kukuhkan kesadaran kita selalu di Mahasuci. Berarti kita telah
berpegang ke Esaan Tuhan. Dengan kepada Mahasuci inilah kita terbungkus
kecemerlangan cahaya Tauhid.
INILAH ZAT YANG DITAUHIDKAN, YAKNI ZAT MUTLAK, orang yang karam didalam zat
mutlak, inilah orang yang karam dilautan tauhid. Lautan tauhid inilah lautan
ahadiyat atau lautan laa ta'yin, yaitu lautan sebelum ada SESUATU.