Eksistensi dan Gerakan Muhammadiyah
Indonesia memasuki abad ke-20 adalah sebuah negeri yang muram.
Setelah runtuhnya kekuasaan-kekuasaan monarkis di Nusantara, negeri ini
terbelenggu oleh kolonialisme. Hampir segeap sendi kehidupan terpasung secara
semena-mena bersamaan dengan munculnya berbagai praktik kolonialisasi yang
sengaja merampas dan mencekeram hak dan hajat hidup kaum pribumi. Sejarah
panjang kolonialisme itu berlangsung berabad-abad, sadis dan serakah, serta
menimbulkan getir trauma dan cedera historis yang cukup parah. Indonesia
terkoyak tanpa daya, dimana sebagian besar rakyatnya terbenam ke dalam
kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.
Di rentang sejarah gelap
kolonialisme itulah umat Islam Indonesia turut menanggung akibatnya. Sebagai
entitas masyarakat mayoritas di Nusantara, umat Islam pun menjadi obyek dan
sasaran kolonialisasi yang paling diperhitungakan karena terbukti kerap
menyulut perlawanan rakyat secara terbuka dan bahkan besar-besaran. Di antara
peristiwa perlawanan dimaksud adalah pecahnya Perang Suci: perlawanan umat
Islam paling berdarah-darah sepanjang sejarah yang digerakkan dan dipelopori
oleh barisan ulama Aceh. Tak lepas berkait dari itu, peristiwa penting yang
menandai perlawanan umat Islam terhadap kolonialisme Belanda sebelumnya juga
terjadi secara berturut-turut di berbagai belahan Nusantara, yakni Perang Padri
di Minangkabau yang dipelopori Imam Bonjol dan Haji Miskin (1821-1838), Perang
Sabil di Jawa yang dipelopori Pangeran Dipenogoro (1825-1830), serta
Pemberontakan Tjilegon di Banten yang dipelopori Hadji Wasit dan Tubagus Hadji
Ismail (1888).
Rentetan kecamuk perang itu
meninggalkan warisan kerugian materil dan personil serdadu yang sangat besar
bagi Belanda, sekaligus menyisakan tak sedikit kekhawatiran yang kemudian
secara perlahan memaksa Belanda menerapkan strategi baru kolinialisasi kaum
pribumi yang dikenal dengan istilah Politik Etis. Era ini ditandai oleh
hadirnya misionaris ulung bernama Christiaan Snouck Hurgronje, seorang dan
satu-satunya orang –dalam sebuah tesis Alfian-- yang bertanggungjawab sebagai
arsitek Kebijakan Politik Islam.
Kebijakan demikian itu, sengaja
diberlakukan Belanda untuk menampilkan ”dua wajah” baru kolonialisasi, dan pada
saat yang sama memerangi Islam di Indonesia dengan cara-cara yang tampak etis.
Yaitu, menguatkan gelombang westernisasi pendidikan dan budaya di lapisan elite
dan terpelajar, sedangkan di lapisan ”kedap perubahan” yang dibentengi ulama
tradisionalis, Belanda menggairahkan kembali tradisi Hindu-Islam yang sudah
berumur satu abad, dimana hal itu berakibat langsung serta sekaligus memicu
maraknya praktik takhayul dan bid’ah (sebagai bentuk penyimpangan agama) di
tangah-tengah kehidupan umat Islam Indonesia.
Meskipun Belanda menuai hasil cukup
gemilang dari proses awal kebijakan Politik Etis, namun hasil pahit yang
sebelumnya tidak pernah diharapkan dari ekses proses kebijakan itu selanjutnya
adalah lahirnya benih-benih nasionalisme Indonesia meodern. Benih-benih
nasionalisme modern (perlawanan melelaui pintu perdagangan dan pendidikan) itu
sudah terasa secara diam-diam melalui surat-surat Kartini dari Jepara kepada
Stella Zeehandelaar di Belanda pada kurun 1899-1903, sampai kemudian gerakan
nasionalisme versus Kolonialisme itu berlanjut cukup terbuka sejak Budi Utomo
berdiri 1908 dan memulai sekolah Kweekschool di Jetis Yogyakarta.
Sungguh pun tak dapat dipungkiri,
kebijakan liberal di sektor ekonomi yang diberlakukan secara formal sejak tahun
1870, telah memberi kesempatan yang demikian luas tidak hanya kepada pemerintah
kolonial, melainkan juga kepada pihak asing lainnya untuk melakukan
esksploitasi tanpa batas terhadap sumber-sumber ekonomi di belahan-belahan bumi
Indonesia. Perkebunan dan pertambangan milik pemerintah maupun perusahaan
swasta asing bermunculan dan merambah cepat dari Sabang sampai Merauke.
Realitas ini berbeda dengan masa sebelumnya, dimana eksploitasi hanya
terkonsentrasi di sepanjang Pulau Jawa.
Sejalan dengan itu, merebaknya
aktivitas berdasarkan sistem pasar dan penggunaan uang sebagai standar
transaksi, dengan sendirinya menimbulkan komersialisasi dan monetisasi dalam
kehidupan ekonomi masyarakat secara umum. Perluasan infrastruktur dan
kesempatan ekonomi baru itu tentu saja mempunyai implikasi positif terhadap
ekonomi kaum pribumi, namun pada saat yang sama, tekanan ekonomis terhadap
bumiputra juga semakin kuat sebagai akibat dari kenaikan biaya hidup, penarikan
pajak tunai yang kian beragam, nilai riil pendapatan yang rendah, maupun karena
petani demikian teralienasi dari tanah sebagai faktor produksi utama sehingga
tingkat hidup mayoritas masyarakat semakin rendah.
Ada dual-economic system
(dalam kajian Boeke) yang akhirnya berlaku dalam perekonomian Indonesia di masa
kolonial, bahwa di satu sisi terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama
para kapitalis Eropa) yang melakukan aktivitas ekonomi secara kapitalis dan
integral dengan pasar global, sementara di sisi lain terdapat sebagian besar
kelompok sosial (mayoritas pribumi) yang hidup dalam subsistence economy.
Yaitu, hidup secara pas-pasan hanya untuk kebutuhan keseharian tanpa sentuhan
pendidikan yang memadai, sehingga terpaksa harus hidup bodoh dan terbelakang.
Tak terbantah, dominasi kalangan
Eropa dan elit feodal pribumi dalam dunia pendidikan menyebabkan rakyat yang
mayoritas muslim tak cukup terakomodasi dalam sistem pendidikan modern,
sementara kebekuan sistem pendidikan tradisional (pesantren) semakin
meninggalkan ketidakberdayaan di pusaran arus sosial yang semakin jauh bergerak
cepat ke arah modernisasi. Lebih menyedihkan, kesadaran sebagai bangsa terjajah
tidak banyak muncul di kalangan masyarakat akibat pembodohan sistemik yang
dilakukan pemerintah kolonial. Elit feodal pribumi, bahkan, tidak banyak
tergugah dan tercerahkan.
Di tengah kemuraman mayoritas kaum
pribumi itu, secara tak terduga muncullah sekelompok kecil masyarakat pribumi
yang perlahan bergerak sebagai pengusaha industri dan pedagang yang kuat.
Katakanlah mereka misalnya pengusaha industri batik, rokok, kerajinan, pedagang
perantara, dan pedagang keliling di daerah-daerah seperti Pekalongan,
Yogyakarta, Surakarta, Kudus, Pariaman, Palembang, dan Banjarmasin. Kelompok
ini adalah kelas menengah pribumi dan merupakan sebagian kecil dari
wiraswastawan pribumi yang mampu bersaing pada tingkat lokal dengan para
pengusaha dan pedagang Eropa, Cina, Arab, dan India yang lebih dulu mendominasi
sektor-sektor ekonomi. Sebagian besar kelas menengah pengusaha dan pedagang
pribumi ini memiliki latar belakang agama Islam dan ikatan sosial yang kuat,
satu hal yang sebenarnya paradoks dengan mayoritas pribumi yang umumnya
Muslim.
Di Jawa, misalnya, mereka tinggal di
kawasan tertentu seperti daerah yang dikenal sebagai Kauman atau Sudagaran.
Daerah ini kebetulan dekat dengan pusat perdagangan, dan karenanya sebagian
besar warganya berdagang atau menjadi pengusaha. Kondisi ekonomi mereka cukup
mapan dan memberi mereka kesempatan untuk bergaul secara lebih kosmopolit, baik
melalui ibadah haji ke Mekah, mengirimkan anak-anak mereka ke berbagai
pesantren atau lembaga pendidikan lain di Indonesia maupun di luar negeri
(seperti Saudi, Mesir, dan Eropa). Dengan demikian, interaksi mereka dengan
masyarakat dan bangsa lebih luas berlangsung secara reguler dan
berkesinambungan. Hal itu berlangsung, tidak hanya dalam konteks ekonomi dan
pendidikan, melainkan juga dalam aspek sosial, kultural, dan politik. Interaksi
mereka terutama dengan masyarakat Muslim dunia (Timur Tengah), termasuk dengan
warga Indonesia yang sudah lama bermukim di Mekkah, membuka kesempatan masuknya
unsur-unsur baru ke dalam masyarakat Muslim di Indonesia.
Kyai Haji Ahmad Dahlan, satu di
antara masyarakat kelas menengah pribumi itu. Meskipun sosoknya, barangkali
hanyal berupa ”noktah kecil” dalam kancah sejarah Indonesia yang menjalani
hidup sekadar berdagang batik dan menjadi Khatib Amin di Masjid Agung
Kasultanan Ngayogyakarta. Namun ternyata, kehadiran dan kiprah Kyai Haji Ahmad
Dahlan tidak hanya setampak noktah kecil itu, melainkan hadir dengan gagasan
besar yang mencerahkan di tengah kemuraman nasib bangsa yang masih meringkuk
dalam belenggu kolonialisme.
Lewat kosmopolitanisme pergaulannya
di jalur perdagangan, perjalanan haji dan studinya di Makkah, Kyai Haji Ahmad
Dahlan lantas kerap terlibat dalam renungan-renungan serius, sampai akhirnya
berpikir keras untuk mengambil jalan baru perubahan sosial demi tumbuh dan
berkembangnya Islam berkemajuan: sebuah reaksi segar untuk mengatasi
keterbelakangan kaum pribumi, serta pembodohan dan pemiskinan akibat
kolonialisasi yang terus berlangsung secara sistemik. Pikiran keras dan
renungan serius itulah yang melahirkan gagasan-gagasan besar, sampai akhirnya
memicu kelahiran Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912.
Sumber :
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-180-det-eksistensi-gerakan--muhammadiyah.html