Persatuan Islam (PERSIS)
Persatuan Islam
(PERSIS)
adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia
yang didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Muslim yang
tertarik dalam pendidikan dan kegiatan keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam
dan Haji Muhammad Yunus. [1]
Sejarah
Idenya berawal dari alumnus Dar al-Ulum di Mekkah bernama H. Zamzam yang sejak 1910-1912 CE adalah guru agama di sekolah agama Dar Al-Muta'alimîn. H. Zamzam mendirikan organisasi bersama dengan teman dekatnya H. Muhammad Yunus. Keduanya lahir di Palembang. Muhammad Yunus, seorang pedagang yang cukup sukses, di masa mudanya mendapatkan pendidikan agama tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia bisa otodidak melalui suci kepentingan. Latar belakang pendidikan yang sama dan budaya menyatukan mereka dalam diskusi Islam. Topik diskusi mereka biasanya penting terkait dengan gerakan-gerakan keagamaan yang berkembang pada saat itu, atau masalah agama yang diterbitkan dalam majalah al-Munir di Padang atau di majalah al-Manar yang diterbitkan di Mesir. [2]
Angka organisasi PERSIS (A.Hassan kedua dari kiri)
Suatu ketika, ada sebuah diskusi berlangsung setelah acara pesta di rumah anggota keluarga, yang berasal dari Sumatera yang telah tinggal di Bandung. Masalah diskusi adalah tentang perselisihan agama antara al-Irshad dan Jamiat Kheir. Sejak itu, pertemuan selanjutnya berubah menjadi sekelompok pengulas, semacam klub di bidang studi agama di mana anggota kelompok dengan senang hati Ulasan, dinilai, dan diuji ajaran mereka terima. Diskusi mereka juga diadakan dengan shalat Jum'ah, sehingga frekuensi meningkat dan diskusi diperdalam. Jumlah orang yang awalnya hanya sekitar 12 orang. Diskusi intensif dan menjadi tidak hanya terbatas pada masalah agama, tapi lebih luas dan lebih politis, seperti pada dikotomi antara tradisional dan Islam Modernisme yang terjadi pada saat itu antara ulama Jamiat Kheir dan al-Irshad di Batavia, atau masalah infiltrasi komunis di Sarekat Islam (SI) dan upaya umat Islam mencoba untuk menghadapinya. [2]
Pada tahun 1924, Ahmad Hassan bin Ahmad (lahir di Singapura, 31 Desember 1887 CE - meninggal di Surabaya, November 10, 1958 M), seorang melodi ayah Tamil (Ahmad) dan ibu Jawa Tamil (Muznah, dia lahir di Surabaya tapi keluarganya awalnya adalah dari Palekat di Madras), bergabung dalam diskusi di PERSIS. Hassan pintar dan menguasai Ilmu Islam dan Umum pengetahuan luas serta fasih berbahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil bahasa. Ia memperoleh pendidikan agama di Singapura dan Johor, dan menikmati menulis artikel surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan di Singapura. [2]
Dalam hal penamaan, PERSIS dari awal adalah liberal. Pada saat itu, itu biasa bagi sebuah organisasi Islam yang diberi nama dengan nama Non-Arab. Nama disingkat dari Persatuan Islam "PERSIS", yang berarti Persia di latin, dianggap sebagai kata kebarat-baratan dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Kesucian Apalagi dan identifikasi Islam dengan Arab sangat kuat di kalangan umat Islam pada saat itu. Ini berarti bahwa mereka siap untuk menerima risiko dan mempertahankan pendirian dan keyakinan mereka atas penggunaan nama Latin, tidak seperti organisasi sebelumnya seperti Jamiat Kheir, Muhammadiyah, dan al-Irshad bahwa semua menggunakan nama Arab. [2 ]
PERSIS berubah menjadi organisasi yang lebih berani dan lebih ekstrim daripada Muhammadiyah dan al-Irshad dalam menentang ajaran sesat, mitos dan takhayul yang dianggap Islam. [2] [3] Hal ini juga keras mengkritik kepatuhan Alawiyyin untuk taqlid dan penolakan terhadap ijtihad, kunjungan makam (ziyarat) dan persetujuan konsekuensi ibadah suci, kafa'ah antara perempuan dan Sayyid Sayyid non-laki, dan keyakinan mengenai status tinggi dari Arab-Indonesia di komunitas Muslim Indonesia. [1]
PERSIS publisitas diperoleh terutama melalui media cetak, dengan menerbitkan majalah pertama Pembela Islam diterbitkan pada bulan Oktober 1929 di Bandung. Publikasi berlangsung hingga 1933 dan berhasil menerbitkan 72 nomor dengan sirkulasi 2.000 eksemplar, tersebar di seluruh negeri dan bahkan ke Malaysia dan Thailand.
Pada bulan November 1931, PERSIS menerbitkan majalah khusus membahas isu-isu agama, tanpa menantang pihak Non Muslim. Majalah itu bernama al-Fatwa ditulis dalam huruf Jawi, sehingga lebih diminati oleh umat Islam di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia. Namun, penerbitan majalah ini hanya berlangsung sampai Oktober 1933 dengan 20 isu dan 1000 eksemplar. Pada tahun 1935 The al-Fatwa digantikan dengan sebuah majalah baru bernama al-Lisaan yang berlangsung di Juni 1942 dengan 65 sebagai nomor penerbitan terakhirnya. Selama kehidupan majalah al-Lisaan, A. Hassan pindah ke Bangil, sehingga masalah nomor 47 (diterbitkan Mei 1940) untuk mengeluarkan nomor 65 diterbitkan di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. [2] Selain menjalankan rumah penerbitan, A. Hassan juga membangun pondok pesantren PERSIS di Bangil.
Sejarah
Idenya berawal dari alumnus Dar al-Ulum di Mekkah bernama H. Zamzam yang sejak 1910-1912 CE adalah guru agama di sekolah agama Dar Al-Muta'alimîn. H. Zamzam mendirikan organisasi bersama dengan teman dekatnya H. Muhammad Yunus. Keduanya lahir di Palembang. Muhammad Yunus, seorang pedagang yang cukup sukses, di masa mudanya mendapatkan pendidikan agama tradisional dan menguasai bahasa Arab, sehingga ia bisa otodidak melalui suci kepentingan. Latar belakang pendidikan yang sama dan budaya menyatukan mereka dalam diskusi Islam. Topik diskusi mereka biasanya penting terkait dengan gerakan-gerakan keagamaan yang berkembang pada saat itu, atau masalah agama yang diterbitkan dalam majalah al-Munir di Padang atau di majalah al-Manar yang diterbitkan di Mesir. [2]
Angka organisasi PERSIS (A.Hassan kedua dari kiri)
Suatu ketika, ada sebuah diskusi berlangsung setelah acara pesta di rumah anggota keluarga, yang berasal dari Sumatera yang telah tinggal di Bandung. Masalah diskusi adalah tentang perselisihan agama antara al-Irshad dan Jamiat Kheir. Sejak itu, pertemuan selanjutnya berubah menjadi sekelompok pengulas, semacam klub di bidang studi agama di mana anggota kelompok dengan senang hati Ulasan, dinilai, dan diuji ajaran mereka terima. Diskusi mereka juga diadakan dengan shalat Jum'ah, sehingga frekuensi meningkat dan diskusi diperdalam. Jumlah orang yang awalnya hanya sekitar 12 orang. Diskusi intensif dan menjadi tidak hanya terbatas pada masalah agama, tapi lebih luas dan lebih politis, seperti pada dikotomi antara tradisional dan Islam Modernisme yang terjadi pada saat itu antara ulama Jamiat Kheir dan al-Irshad di Batavia, atau masalah infiltrasi komunis di Sarekat Islam (SI) dan upaya umat Islam mencoba untuk menghadapinya. [2]
Pada tahun 1924, Ahmad Hassan bin Ahmad (lahir di Singapura, 31 Desember 1887 CE - meninggal di Surabaya, November 10, 1958 M), seorang melodi ayah Tamil (Ahmad) dan ibu Jawa Tamil (Muznah, dia lahir di Surabaya tapi keluarganya awalnya adalah dari Palekat di Madras), bergabung dalam diskusi di PERSIS. Hassan pintar dan menguasai Ilmu Islam dan Umum pengetahuan luas serta fasih berbahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil bahasa. Ia memperoleh pendidikan agama di Singapura dan Johor, dan menikmati menulis artikel surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan di Singapura. [2]
Dalam hal penamaan, PERSIS dari awal adalah liberal. Pada saat itu, itu biasa bagi sebuah organisasi Islam yang diberi nama dengan nama Non-Arab. Nama disingkat dari Persatuan Islam "PERSIS", yang berarti Persia di latin, dianggap sebagai kata kebarat-baratan dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Kesucian Apalagi dan identifikasi Islam dengan Arab sangat kuat di kalangan umat Islam pada saat itu. Ini berarti bahwa mereka siap untuk menerima risiko dan mempertahankan pendirian dan keyakinan mereka atas penggunaan nama Latin, tidak seperti organisasi sebelumnya seperti Jamiat Kheir, Muhammadiyah, dan al-Irshad bahwa semua menggunakan nama Arab. [2 ]
PERSIS berubah menjadi organisasi yang lebih berani dan lebih ekstrim daripada Muhammadiyah dan al-Irshad dalam menentang ajaran sesat, mitos dan takhayul yang dianggap Islam. [2] [3] Hal ini juga keras mengkritik kepatuhan Alawiyyin untuk taqlid dan penolakan terhadap ijtihad, kunjungan makam (ziyarat) dan persetujuan konsekuensi ibadah suci, kafa'ah antara perempuan dan Sayyid Sayyid non-laki, dan keyakinan mengenai status tinggi dari Arab-Indonesia di komunitas Muslim Indonesia. [1]
PERSIS publisitas diperoleh terutama melalui media cetak, dengan menerbitkan majalah pertama Pembela Islam diterbitkan pada bulan Oktober 1929 di Bandung. Publikasi berlangsung hingga 1933 dan berhasil menerbitkan 72 nomor dengan sirkulasi 2.000 eksemplar, tersebar di seluruh negeri dan bahkan ke Malaysia dan Thailand.
Pada bulan November 1931, PERSIS menerbitkan majalah khusus membahas isu-isu agama, tanpa menantang pihak Non Muslim. Majalah itu bernama al-Fatwa ditulis dalam huruf Jawi, sehingga lebih diminati oleh umat Islam di Sumatera, Kalimantan dan Malaysia. Namun, penerbitan majalah ini hanya berlangsung sampai Oktober 1933 dengan 20 isu dan 1000 eksemplar. Pada tahun 1935 The al-Fatwa digantikan dengan sebuah majalah baru bernama al-Lisaan yang berlangsung di Juni 1942 dengan 65 sebagai nomor penerbitan terakhirnya. Selama kehidupan majalah al-Lisaan, A. Hassan pindah ke Bangil, sehingga masalah nomor 47 (diterbitkan Mei 1940) untuk mengeluarkan nomor 65 diterbitkan di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. [2] Selain menjalankan rumah penerbitan, A. Hassan juga membangun pondok pesantren PERSIS di Bangil.
MUHAMMADIYAH
Sejak tahun 1905, Kyai Haji Ahmad
Dahlan telah banyak melakukan dakhwah dan pengajian-pengajian yang berisi faham
baru dalam islam dan menitik beratkan pada segi alamiyah. Baginya, Islama
adalah agama amal, suatau agama yang mendorong umatnya untuk banyak melakukan
kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal pendalaman beliau
terhadap Al- Qura’an dan sunannah Nabi, sampai pada pendirian dan tindakana
yang banyak bersifat pengalaman Islam dalam kehidupan nyata.
Dari kajian – kajian Kyai Haji Ahmad
Dahlan ,akhirnya timbul pertanyaan kenapa banyak gerakan-gerakan islam yang
tidak berhasil dalam usahanya? Hal ini tidak lain di sebabkan banyak orang yang
bergerak dan berjuang tetapi tidak berilmu luas serta sebaliknya banyak orang
yang berilmu akan tetapi tidak mau mengamalkan ilmunya.
Atas dasar keyakinannya itulah, Kyai
Haji Ahmad Dahlan ,pada tahun 1991 mendirikan “sekolah Muhammadiyah” yang
menempati sebuah ruangan dengan meja dan papan tulis. Dalam sekolah tersebut,
di masukkan pula beberapa pelajaran yang lazim di ajarkan di sekolah-sekolah
model Barat, seperti Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Hayat dan sebagainya. Begitu
pul;a di perkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan
sehingga lebih menarik dan lebih menyerap. Dengan murid yang tidak begitu
banyak,jadilah sekolah Muhammadiyah tersebut sebagai tempat persemaian
bibit-bibit pembaruan dalam Islam Indonesia.
Dan sebagai puncaknya berdirilah
gerakan Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang bertepatana dengan
tanggal 18 November 1992, yang di dalam Anggaran Dasarnya yang pertama kali
bertujuan: “ Menyebarkan Pengajarn Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk
bumi putera,di dalam residensi yogyakarta” serta “ Memajukan hal agama Islam
kepada sekutu-sekutunya.