MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH
( PENGENALAN, PENYEMPURNAAN DAN PENGEMBANGAN )
Muqaddimah
Tarjih berasal dari kata “ rojjaha – yurajjihu- tarjihan “, yang berarti mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut
istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh mujtahid
untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang saling
bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang
lainnya “
Tarjih dalam istilah persyarikatan ,sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “ Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah “ adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat “
Pada
tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan namanya, hanyalah
sekedar memilih-milih antar beberapa pendapat yang ada dalam Khazanah
Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat. Tetapi, dikemudian hari,
karena perkembangan masyarakat dan jumlah persoalan yang dihadapinya
semakin banyak dan kompleks , dan tentunya jawabannya tidak selalu di
temukan dalam Khazanah Pemikiran Islam Klasik, maka konsep tarjih
Muhammadiyah mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Kemudian
mengalami perluasan menjadi : usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi
masalah-maasalah baru yang sebelumnya tidak atau belum pernah ada
diriwayatkan qoul ulama mengenainya “. Usaha-usaha tersebut dalam
kalangan ulama ushul Fiqh lebih dikenal dengan nama “ Ijtihad “.
Oleh
karenanya, idealnya nama Majlis yang mempunyai tugas seperti yang
disebutkan di atas adalah Majlis Ijtihad, namun karena beberapa
pertimbangan, dan ada keinginan tetap menjaga nama asli, ketika Majlis
ini pertama kali dibentuk, maka nama itu tetap dipakai, walau terlalu
sempit jika di bandingkan dengan tugas yang ada.
Sejarah berdirinya Tarjih
Pada
waktu berdirinya Persyarikatan Muhammdiyah ini , tepatnya pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M, Majlis Tarjih belum ada,
mengingat belum banyaknya masalah yang di hadapi oleh Persyarikatan.
Namun lambat laun, seiring dengan berkembangnya Persyarikatan ini, maka
kebutuhan-kebutuhan internal Persyarikatan ini ikut berkembang juga,
selain semakin banyak jumlah anggotanya yang kadang memicu timbulnya
perselisihan paham mengenai masalah-masalah keagamaan, terutama yang
berhubungan dengan fiqh. Untuk mengantisipasi meluasnya perselisihan
tersebut, serta menghindari adanya peperpecahan antar warga
Muhammadiyah, maka para pengurus persyarikatan ini melihat perlu adanya
lembaga yang memiliki otoritas dalam bidang hukum. Maka pada tahun 1927 M
, melalui keputusan konggres ke 16 di Pekalongan, berdirilah lembaga
tersebut yang di sebut Majlis Tarjih Muhammdiyah.
Tersebut di dalam majalah Suara Muhammadiyah no.6/1355( 1936 ) hal 145 :
“
….bahwa perselisihan faham dalam masalah agama sudahlah timbul dari
dahulu, dari sebelum lahirnja Muhammadijah : sebab-sebabnja banjak ,
diantaranja karena masing-masing memegang teguh pendapat seorang ulama
atau jang tersebut di suatu kitab, dengan tidak suka menghabisi
perselisihannja itu dengan musjawarah dan kembali kepada Al Qur’an ,
perintah Tuhan Allah dan kepada Hadits, sunnah Rosulullah.
Oleh
karena kita chawatir, adanja pernjeknjokan dan perselisihan dalam
kalangan Muhammadijah tentang masalah agama itu, maka perlulah kita
mendirikan Madjlis Tardjih untuk menimbang dan memilih dari segala
masalah jang diperselisihkan itu jang masuk dalam kalangan Muhammadijah
manakah jang kita anggap kuat dan berdalil benar dari Al qur’an dan
hadits. “
Sejak berdirinya pada tahun 1927 M, Majlis Tarjih telah dipimpin oleh 8 Tokoh Muhammadiyah, yaitu :
1. KH. Mas Mansur
2. Ki Bagus Hadikusuma
3. KH. Ahmad Badawi
4. Krt. KH. Wardan Diponingrat
5. KH. Azhar Basyir
6. Prof. Drs. Asjmuni Abdurrohman ( 1990-1995 )
7. Prof. Dr. H. Amin Abdullah ( 1995-2000)
8. Dr. H. Syamsul Anwar , MA ( 2000-2005 )
Kedudukan dan Tugas Majlis Tarjih dalam Persyarikatan .
Majlis
Tarjih ini mempunyai kedudukan yang istimewa di dalam Persyarikatan,
karena selain berfungsi sebagai Pembantu Pimpinan Persyarikatan, mereka
memiliki tugas untuk memberikan bimbingan keagamaan dan pemikiran di
kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga persyarikatan
Muhammadiyah khususnya. Sehingga, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa
Majlis Tarjih ini merupakan ‘ Think Thank “ –nya Muhammadiyah. Ia
bagaikan sebuah “ processor “ pada sebuah komputer, yang bertugas
mengolah data yang masuk sebelum dikeluarkan lagi pada monitor.
Adapun
tugas-tugas Majlis Tarjih, sebagaimana yang tertulis dalam Qa’idah
Majlis Tarjih 1961 dan diperbaharuhi lewat keputusan Pimpinan Pusat
Muhammdiyah No. 08/SK-PP/I.A/8.c/2000, Bab II pasal 4 , adalah sebagai
berikut :
1. Mempergiat pengkajian dan penelitian ajaran Islam dalam rangka pelaksanaan tajdid dan antisipasi perkembangan masyarakat.
2.
Menyampaikan fatwa dan pertimbangan kepada Pimpinan Persyarikatan guna
menentukan kebijaksanaan dalam menjalankan kepemimpinan serta membimbing
umat , khususnya anggota dan keluarga Muhammadiyah.
3. Mendampingi dan membantu Pimpinan Persyarikatan dalam membimbing anggota melaksanakan ajaran Islam
4. Membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama.
5. Mengarahkan perbedaan pendapat/faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.
Menurut
Prof. DR. H. Amin Abdullah, salah satu tokoh Muhammadiyah yang pernah
menjabat sebagai ketua Majlis Tarjih, bahwa Majis Tarjih sebenarnya
memiliki dua dimensi wilayah keagamaan yang satu sama lainnya pelu
memperoleh perhatian seimbang. Yang pertama adalah wilayah tuntunan
keagamaan yang bersifat praktis, terutama ikhwal ibadah mahdhoh dan yang
kedua adalah wilayah pemikiran keagamaan yang meliputi visi, gagasan,
wawasan, nilai-nilai dan sekaligus analisis terhadap berbagai persoalaan
( ekonomi, politik, sosial-budaya , hukum, ilmu pengetahuan, lingkungan
hidup dan lain-lainnya )
Manhaj Tarjih
Sejak tahun 1935 upaya perumusan Manhaj Tarjih Muhammadiyah telah dimulai, dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah. Langkah pertama kali yang ditempuh adalah dengan mengkaji “ Mabadi’ Khomsah
“( Masalah Lima ) yang merupakan sikap dasar Muhammadiyah dalam
persoalan agama secara umum. Karena adanya penjajahan Jepang dan perang
kemerdekaan , perumusan Masalah Lima tersebut baru bisa diselengarakan
pada akhir tahun 1954 atau awal 1955 dalam Muktamar Khusus Majlis Tarjih
di Yogyakarta.
Masalah Lima tersebut meliputi :
1.Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :
“
Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam
Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2.Pengertian Dunia (al Dunya ):
“
Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : “ Kamu lebih
mengerti urusan duniamu “ ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas
diutusnya para nabi ( yaitu
perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan
sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia )
3. Pengertian Al Ibadah, ialah :
“
Bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah,dengan jalan mentaati
segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan
mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan
ada yang khusus ; a. yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah
b. Yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan
perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4. Pengertian Sabilillah, ialah :
“
Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah,
berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat(
agama )-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
5.Pengertian Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya )
Karena
Masalah Lima tersebut, masih bersifat umum, maka Majlis Tarjih terus
berusaha merumuskan Manhaj untuk dijadikan pegangan di dalam menentukan
hukum. Dan pada tahun 1985-1990, yaitu tepatnya pada tahun 1986, setelah
Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih baru berhasil
merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
Adapun Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih ( disertai keterangan singkat )adalah sbb :
1. Di
dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al
Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang
tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut
bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad ,
termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada
nashnya secara langsung. ( Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama : Ijtihad Bayani
: yaitu ( menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau
umum, atau mempunyai makna ganda , atau kelihatan bertentangan, atau
sejenisnya), kemudian dilakukan jalan tarjih. Sebagai contohnya adalah
Ijtihad Umar untuk tidak membagi tanah yang di taklukan seperti tanah
Iraq, Iran , Syam, Mesir kepada pasukan kaum muslimin, akan tetapi
dijadikan “Khoroj” dan hasilnya dimasukkan dalam baitul mal muslimin ,
dengan berdalil Qs Al Hasyr ; ayat 7-10. Kedua : Ijtihad Qiyasi
: yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang
tidak di jelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist, diantaranya : men
qiyaskan zakat tebu, kelapa, lada ,cengkeh, dan sejenisnya dengan zakat
gandum, beras dan makanan pokok lainnya, bila hasilnya mencapai 5 wasak (
7,5 kwintal ) Ketiga : Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat
, demi untuk kemaslahatan masyarakat, seperti ; membolehkan wanita
keluar rumah dengan beberapa syarat, membolehkan menjual barang wakaf
yang diancam lapuk, mengharamkan nikah antar agama dll
2. Dalam
memutuskan sesuatu keputusan , dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam
menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’I. Dengan
demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.(
Seperti pendapat salah satu anggota Majlis Tarjih Pusat yang pernah
dimuat di dalam majalah Suara Muhammadiyah, bahwa dalam penentuan awal
bulan Ramadlan dan Syawal hendaknya menggunakan Mathla’ Makkah. Pendapat
ini hanyalah pendapat pribadi sehingga tidak dianggap kuat. Yang
diputuskan dalam Munas Tarjih di Padang Oktober 2003, bahwa Muhammadiyah
menggunakan Mathla’ Wilayatul Hukmi )
3. Tidak
mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat
madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum.
Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan al – Sunnah, atau dasar-dasar
lain yang dipandang kuat. ( Seperti halnya ketika Majlis Tarjih
mengambil pendapat Mutorif bin Al Syahr di dalam menggunakan Hisab
ketika cuaca mendung, yaitu di dalam menentukan awal bulan Ramadlan.
Walaupun pendapatnya menyelisihi Jumhur Ulama. Sebagai catatan : Rumusan
di atas,menunjukkan bahwa Muhammadiyah, telah menyatakan diri untuk
tidak terikat dengan suatu madzhab, dan hanya menyandarkan segala
permasalahannya pada Al-Qur’an dan Hadits saja. Namun pada
perkembangannya, Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang
mempunyai pengikut cukup banyak, secara tidak langsung telah membentuk
madzhab sendiri, yang disebut “ Madzhab Muhammadiyah “, ini dikuatkan
dengan adanya buku panduan seperti HPT ( Himpunan keputusan Tarjih ).
4. Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih
yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil- dalil
yang dipandang paling kuat, yang di dapat ketika keputusan diambil. Dan
koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan
dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih
dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. ( Seperti
halnya pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan karena
kekawatiran tejadinya syirik sudah tidak ada lagi , pencabutan larangan
perempuan untuk keluar rumah dll)
5. Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ) , hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
( Keputusan yang membicarakan tentang aqidah dan iman ini dilaksanakan
pada Mukatamar Muhammadiyah ke- 17 di Solo pada tahun 1929. Namun
rumusan di atas perlu ditinjau ulang. Karena mempunyai dampak yang
sangat besar pada keyakinan sebagian besar umat Islam, khususnya kepada
warga Muhammadiyah. Hal itu, karena rumusan tersebut mempunyai arti
bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menolak beratus-ratus hadits shohih
yang tercantum dalam Kutub Sittah, hanya dengan alasan bahwa hadits ahad
tidak bisa dipakai dalam masalah aqidah. Ini berarti juga, banyak dari
keyakinan kaum muslimin yang selama ini dipegang erat akan tergusur
dengan rumusan di atas, sebut saja sebagai contoh : keyakinan adanya
adzab kubur dan adanya malaikat munkar dan nakir, syafa’at nabi Muhammad
saw pada hari kiamat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk syurga, adanya
timbangan amal, ( siroth )jembatan yang membentang di atas neraka untuk masuk syurga, ( haudh
) kolam nabi Muhammad saw, adanya tanda- tanda hari kiamat sepeti
turunnya Isa, keluarnya Dajjal. Rumusaan di atas juga akan menjerat
Persyarikatan ini ke dalam kelompok Munkiru al-Sunnah , walau secara tidak langsung.
6. Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. (
Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’
qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan
Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini
kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’
sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah
sahabat )
7. Terhadap
dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u
wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih. (
Cara-cara melakukan jama’ dan taufiq, diantaranya adalah : Pertama :
Dengan menentukan macam persoalannya dan menjadikan yang satu termasuk
bagian dari yang lain. Seperti menjama’ antara QS Al Baqarah 234 dengan
QS Al Thalaq 4 dalam menentukan batasan iddah orang hamil , Kedua :
Dengan menentukan yang satu sebagai mukhashis terhadap dalil yang umum,
seperti : menjama’ antara QS Ali Imran 86,87 dengan QS Ali Imran 89,
dalam menentukan hukum orang kafir yang bertaubat, seperti juga menjama’
antara perintah sholat tahiyatul Masjid dengan larangan sholat sunnah
ba’da Ashar, Ketiga: Dengan cara mentaqyid sesuatu yang masih mutlaq ,
yaitu membatasi pengertian yang luas, seperti menjama; antara larangan
menjadikan pekerjaan membekam sebagai profesi dengan ahli bekam yang
mengambil upah dari pekerjaanya. Keempat: Dengan menentukan arti
masing-masing dari dua dalil yang bertentangan, seperti : menjama’
antara pengertian suci dari haid yang berarti bersih dari darah haid dan
yang berarti bersih sesudah mandi. Kelima : Menetapkan masing-masing
pada hukum masalah yang berbeda, seperti larangan sholat di rumah bagi
yang rumahnya dekat masjid dengan keutamaan sholat sunnah di rumah.
8. Menggunakan asas “ saddu al-daraI’ “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
.( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah,
karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang. Seperti : Larangan
memasang gambar KH. Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, karena
dikawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan. Walaupun akhirnya larangan
ini dicabut kembali pada Muktamar Tarjih di Sidoarjo, karena
kekawatiran tersebut sudah tidak ada lagi. Contoh lain adalah larangan
menikahi wanita non muslimah ahli kitab di Indonesia, karena akan
menyebabkan finah dan kemurtadan. Keputusan ini ditetapkan pada Muktamar
Tarjih di Malang 1989.
9.
Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil- dalil Al
Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil
Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada
illah yang terkandung dalam nash. Seperti perintah menghadap arah
Masjid Al Haram dalam sholat, yang dimaksud adalah arah ka’bah, juga
perintah untuk meletakkan hijab antara laki-laki dan perempuan, yang
dimaksud adalah menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan, yang
pada Muktamar Majlis Tarjih di Sidoarjo 1968 diputuskan bahwa
pelaksanaannya mengikuti kondisi yang ada, yaitu pakai tabir atau tidak,
selama aman dari fitnah )
10. Pengunaaan dalil- dalil untuk menetapkan suatu hukum , dilakukan dengan cara konprehensif , utuh dan bulat. Tidak terpisah. (
Seperti halnya di dalam memahami larangan menggambar makhluq yang
bernyawa,jika dimaksudkan untuk disembah atau dikawatirkan akan
menyebabkan kesyirikan )
11. Dalil –dalil umum al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah. ( Lihat keterangan dalam point ke 5 )
12. Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip “Taisir “ ( Diantara contohnya adalah : dzikir singkat setelah sholat lima waktu, sholat tarawih dengan 11 rekaat )
13.
Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan- ketentuannya dari Al
Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal,
sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus
diakui ,akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada
akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi.
( Contohnya, adalah ketika Majlis Tarjih menentukan awal Bulan Ramadlan
dan Syawal, selain menggunakan metode Rukyat,juga menggunakan metode al
Hisab. Walaupun pelaksanaan secara rinci terhadap keputusan ini perlu
dikaji kembali karena banyak menimbulkan problematika pada umat Islam di
Indonesia )
14.
Dalam hal- hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak
termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi
kemaslahatan umat.
15. Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16.
Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang
aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima. ( Seperti
dalam memahami ayat-ayat dan hadist yang membicarakan sifat-sifat dan
perbuatan Allah swt,seperti Allah bersemayam d atas Arsy, Allah turun ke
langit yang terdekat dengan bumi pada sepertiga akhir malam dll )
Penyempurnaan dan Pengembangan Majlis Tarjih
Sebagaimana
diketahui bahwa Persyarikatan Muhammadiyah merupakan persyarikatan yang
bergerak untuk Tajdid dan pembaharuan. Maka Majlis Tarjih, yang
merupakan bagian terpenting dalam organisasi tersebut tidak bersifat
kaku dan kolot, akan tetapi keputusan- keputusan Majlis Tarjih masih ada
kemungkinan mengalami perubahan kalau sekiranya dikemudian hari ada
dalil atau alasan yang dipandang lebih kuat. Bahkan nama dan kedudukan
Majlis dalam Persyarikatan bisa mengalami perubahan sesuai dengan
kebutuhan. Diantara perubahan-perubahan yang terjadi dalam Majlis Tarjih
adalah :
1.Perubahan
nama “ Majlis Tarjih “. Karena mengingat, semakin banyak dan kompleknya
problematika-problematika yang dihadapi umat Islam pada puluhan tahun
akhir ini. Terutama berkembangnya pemikiran baru, yang kesemuanya harus
dijawab oleh Majlis Tarjih. Dan karena nama Tarjih, masih identik dengan
masalah-masalah fiqh, maka nama Majlis Tarjih perlu di tambah dengan
sebutan yang bisa mewakili tugas tersebut, maka dipilihlah nama
Pengembangan Pemikiran Islam sehingga namanya menjadi “ Majlis Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam “. Penambahan ini diputuskan pada tahun
1995, ketika dilangsungkan Muktamar Aceh.
2.Penambahan
terhadap tiga bentuk Ijtihad yang digunakan Majlis Tarjih ( Yaitu
Ijtihad Bayani, Qiyasi dan Istishlahi ) dengan ditambah tiga pendekatan
baru ,yaitu Pendekatan ” Bayani” , “ Burhani” dan “ Irfani”.
Tiga pendekatan tersebut diputuskan pada MUNAS Tarjih di Malang, tahun
2000. Kemudian disempurnakan pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang,Oktober
2003. Walaupun telah dilakukan beberapa kali sidang, tiga pendekatan
tersebut masih belum tuntas pembahasannya.
3.Perubahan nama Mukatamar Tarjih menjadi MUNAS ( Musyawarah Nasional ) Tarjih.
4.Perampingan
anggota Majlis Tarjih yaitu dengan menetapkan Anggota Tetap Majlis
Tarjih . Pada awalnya muktamar –muktamar atau musyarawarah musyawarah
Majlis yang bersifat nasional, melibatkan utusan-utusan wilayah-wilayah
yang sering berganti-ganti, atau yang sering disingkat dengan MTPPI
Wilayah. Akan tetapi pada MUNAS Tarjih ke 26 di Padang, Oktober 2003
dilakukan perampingan dengan membentuk anggota tetap Majlis Tarjih yang
berjumlah sekitar 99 anggota, yang bertugas untuk melakukan sidang
setiap hal itu diperlukan. Langkah-langkah ini diambil, mengingat kurang
efektif dan efesiennya perjalanan Muktamar Tarjih selama ini, khususnya
ketika diganti namanya dengan MUNAS( Musyawarah Nasional ) . Walaupun
sampai saat ini , keputusan tersebut belum ditanfidkan oleh Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, namun akan mempunyai pengaruh yang besar bagi
perjalanan Majlis Tarjih pada masa-masa mendatang.
5.Perubahan
keputusan-keputusan tarjih yang dirasa kurang sesuai lagi, seperti
pencabutan larangan menempel gambar KH. Ahamd Dahlan, pencabutan
larangan perempuan untuk keluar rumah, pencabutan keputusan tentang
larangan perempuan ikut berdemonstrasi dan lain-lain . Ini dikuatkan
juga dengan adanya komisi Pengembangan Himpunan Putusan Tarjih , pada
MUNAS Tarjih di padang, Oktober 2003.
Penutup
Perjalan
Majlis Tarjih selama 77 tahun, memang penuh dengan tantangan dan
cobaan. Tugas yang diembannya untuk membimbing masyarakat Islam
Indonesia, pada umumnya dan warga Persyarikatan Muhammadiyah pada
khususnya dalam masalah keagamaan dan pengembangan pemikiran Islam,
nampak begitu berat dan menuntut adanya kesabaran dan perjuangan, serta
pencarian yang tiada kenal putus asa. Sehingga perbaikan,penyempurnaan
serta pengembangan Majlis tarjih ini sangat mutlak diperlukan,guna
memberikan konstribusi-konstribusi yang bermanfaat bagi umat Islam
Indonesia.
Demikian
tulisan singkat tentang Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam.
Yang sedikit ini, mudah-mudahan bisa membuka cakrawala, khususnya bagi
kader-kader Muhammadiyah, dan bisa menjadi bekal awal untuk pengembangan
pemikiran dalam persyarikatan ini. Wallahu A’lam.
Kairo, 3 Maret 2004
DAFTAR PUSTAKA
- Abdurrohman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi,( Jokyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, Cet I )
- An-Najah, Ahmad Zain , Metode Penggunaan Rukyat dan Hisab, dan Pengaruhnya Terhadap Persatuan Umat, (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 2003
- ———-, Mengkaji Ulang Sikap Muhammadiyah Terhadap Hadist Ahad,( Makalah, 2004 )
- Badan pendidikan Kader PP. Muhammadiyah, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, ( Jogyakarta : BPK PP.Muhammadiyah,Oktober 1994, Cet I )
- Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia, Prespektif Muhammadiyah dan NU (Jakarta : Universitas Yarsi 1999)
- § Majlis Tarjih Dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Buku Panduan Munas Tarjih ke 26 , (Jokyakarta : MTPPI PP Muhammadiyah, 2003)
- Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih, ( Jokyakarta : PP. Muhammadiyah Cet. III) .
- Siregar, Hamka, Mencari Format Baru Tarjih Muhammadiyah. (Padang : MTPPI PP Muhammadiyah , 200
- Lubis, Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh,Suatu Studi Perbandingan (Jakarta : Bulan Bintang
- Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 06. Maret 2003