بِــــــسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيـــمِ

SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI STIKOM MUHAMMADIYAH BATAM - RAIH MASA DEPANMU BERSAMA STIKOM MUHAMMADIYAH BATAM - TERDEPAN - MODEREN - DAN - ISLAMI, - KALAU ADA KRITIKAN YANG MEMBANGUN SILAKAN DIKIRIMKAN KE KAMI - DAN TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA

RUKUN ISLAM

RUKUN ISLAM : 1. DUAKALIMAH SYAHADAT, 2. SHOLAT, 3. PUASA, 4. ZAKAT, 5. NAIK HAJI

RUKUN IMAN : 1. PERCAYA KEPADA ALLAH, 2. PERCAYA KEPADA MALAIKAT, 3. PERCAYA KEPADA KITAB ALLAH, 4. PERCAYA KEPADA NABI DAN RASUL ALLAH, 5. PERCAYA KEPADA HARI AKHIRAT, 6. PERCAYA KEPADA QODHA & QHADAR ALLAH

PILIH MENU

Kamis, 16 April 2015

MAHA SUCI ALLAH



BAIK BAIKLAH PAHAM TENTANG MAHA SUCI

        Dzat Tuhan merupakan Wujud Mutlak, tidak dapat dipersepsikan oleh akal, perasaan, khayal dan indera.. Dzatullah sebagai aspek bathin segala yang maujud (ada), karena Tuhan meliputi segala sesuatu (Lihat surat Fushilat :54)
        Bisa ditarik kesimpulan bahwa sifat bukan hakikat ketuhanan akan tetapi sifat adalah yang bersandar kepada Dzat Tuhan. Sesuatu yang bersandar kepada Dzat bukanlah Tuhan, kedudukannya sama halnya dengan tanaman, pohonan, gunung, surga dan neraka, karena semua muncul karena adanya Dzat yang Hidup, dzat-lah Yang menggerakkan semua ini.
        Hakikat kemuhammadan atau Nur Muhammad artinya cahaya yang penuh pujian Tuhan. Inilah permulaan segala sesuatu, sehingga Allah bisa disifati karena Ia Yang Menciptakan (Al Khaliq), Yang Memelihara (Al hafidz), Yang Perkasa (Al Jabbar), Yang Maha Kuat (Al qawwiyu), Yang Hidup (Al Hayyu) dst, sedangkan sifat itu sendiri bergantung kepada sang Dzat (tidak berdiri sendiri ), oleh karena itu Islam melarang berhenti kepada sifat. Karena sifat itu bukan Dzat itu sendiri. Untuk mengetahui Dzatullah harus meninggalkan sifat-Nya yaitu keadaaan hakikat Tuhan yang belum ada apa-apa ) karena sifat merupakan sesuatu yang bergantung (membutuhkan sandaran) Dan sifat Allah itu masih bisa dirasakan oleh makhluk-Nya seperti Ar Rahman (Pengasih) Ar Rahiem (Penyayang), Al Qawiyyu ( Kuat) sedangkan sifat itu muncul karena persepsi sang hamba (inna dzanni 'abdi, Aku tergantung persepsi hamba-hamba-KU)
        Sebaliknya Islam menyempurnakannya dengan langsung kepada Dzatullah, tidak berhenti kepada sifat-Nya ,yaitu dengan menafikan (mengabaikan) segala sesuatu kecuali Allah. Laa ilaaha illallah. atau laa syai'un illallah ( tiada sesuatu kecuali Allah) juga terdapat dalam Surat Thaha:14 innanii Ana Allah, laa ilaaha illa ANA, fa'budnii, sesungguhnya AKU ini Allah, tidak ada Tuhan selain AKU maka sembahlah AKU dan dirikanlah Shalat untuk Menyembah AKU !!
Jelas dengan tegas bahwa Allah mengarahkan kita untuk menyembah DZAT-NYA bukan Nama-Nya bukan Sifat-Nya.
        Menempatkan Dzat sebagai hakikat dari segala sesuatu. Karena itu Dzat disebut sebagai la ta'yun tidak bisa dikenal hakikatnya. Keadaan-Nya tidak kenal penyebutan karena segala persepsi tidak bisa menggambarkan keadaan-Nya. Keadaan yang masih belum ada apa-apa, masih awang uwung (ithlaq ), yang wilayah ini digambarkan oleh Al Qur'an sebagai orang yang pingsan ( suatu keadaan yang di alami oleh Nabi Musa As, lihat QS: 7:143)
Inilah objek yang kita tuju, bukan kepada sifat dan Nur-Nya. Kepada Dzat itulah kita kembali innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun, kita memuja, bersujud, kita bergantung !!
Tiap tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Nya [Al-Qur'an S. Qashas : 88]
Kita tetap sadar didalam Mahasuci. INILAH KEIMANAN YANG TIDAK KOYAK. Dengan keimanan kita, cukup disadari saja : kita ada di Mahasuci yang "laysa kamitslhi syaiun" yang tidak memerlukan tempat.

        Dikukuhkan perasaan kita di Mahasuci. Jangan ada pikiran kepada yang bukan Mahasuci. Kukuhkan kesadaran kita selalu di Mahasuci. Berarti kita telah berpegang ke Esaan Tuhan. Dengan kepada Mahasuci inilah kita terbungkus kecemerlangan cahaya Tauhid.
INILAH ZAT YANG DITAUHIDKAN, YAKNI ZAT MUTLAK, orang yang karam didalam zat mutlak, inilah orang yang karam dilautan tauhid. Lautan tauhid inilah lautan ahadiyat atau lautan laa ta'yin, yaitu lautan sebelum ada SESUATU.